Friday, September 9, 2011

Bedah Buku Sejarah Peradaban Aceh

Suku Aceh Mempunyai Keunikan Tersendiri

Jakarta, 15 April 2003 17:04
Calon doktor Universitas Padjadjaran Bandung Abdul Rani Usman menukilkan berbagai fakta tentang peradaban Aceh dalam sebuah buku berjudul Sejarah Peradaban Aceh.

Peluncuran dan bedah buku yang dihadiri tokoh masyarakat Aceh antara lain mantan Meneg HAM Hasballah M Sa`ad, Debra Yatim, Agus Sopian serta Bambang Haryono itu berlangsung di Jakarta, Selasa.

Pada buku yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia dengan kata pengantar ditulis Prof Nazaruddin Sjamsuddin itu, penulis mencoba melakukan suatu analisis interaksionis, integrasi dan konflik.

Dalam buku setebal 156 halaman itu, Abdul Rani Usman mendeskripsikan berbagai sejarah masyarakat daerah yang dijuluki "Serambi Makkah", baik dilihat dari suku bangsa maupun struktur lembaga kemasyarakatan.

Kandidat doktor yang jebolan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh itu menuliskan bahwa Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat Indonesia maupun dunia internasional seperti Snouck Hurgronje.

Menurut dia, perkembangan dan peradaban suku bangsa Aceh pun menjadi perhatian para ahli sejarah karena suku Aceh mempunyai keunikan tersendiri, terutama banyaknya inegrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya terjadilah suku etnik Aceh.

Dalam buku itu juga diulas tentang sejarah dan perkembangan, asal usul sebutan Aceh, hubungan Aceh dengan bangsa asing, bahsa Aceh, sistem kekerabatan, perkembangan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat.

Lebih jauh, penulis yang pernah mengisi surat kabar terbitan Sumatera Utara (Sumut), Medan dan Aceh itu juga mengangkat perubahan sosial dan pernghancuran peradaban Aceh serta bangkitnya peradaban Aceh.

Buah pembicaraan

Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengatakan, sejak masa kemerdekaan sampai saat ini, Aceh merupakan suatu daerah yang tidak pernah henti-hentinya menjadi buah pembicaraan di kalangan masyarakat Indonesia.

Jika pada masa kemerdekaan Aceh dikenal sebagai tulang punggung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia atau pendukung Republik yang teramat loyal, maka kini lebih dipandang sebagai suatu daerah yang bergolak.

Segera setelah perjuangan mempertahankan kemerdekaan berakhir, pada penghujung 1949, sementara banyak daerah lain mengalami proses peredaan ketegangan, rakyat Aceh terus hidup dalam suasana gaduh dan resah.

Aceh yang selama revolusi memainkan peranan besar sebagai salah satu sentra perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sehingga dijuluki Presiden Soekarno sebagai "daerah modal", justru diperkecil setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia internasional.

"Ditinjau dari satu segi, pembelaan harkat dan martabat yang berlangsung secara berkelanjutan sepanjanima abad itu tentu saja telah membentuk watak dan kultur rakyat Aceh sebagaimana yang kita kenal selama ini," tulis Nazaruddin.

Namun demikian tidak berarti tidak ada "biaya" yang harus dibayar oleh rakyat Aceh.

"Hal inilah yang ingin diungkapkan oleh Drs A Rani Usman, M.Si dalam buku berjudul Sejarah Peradaban Aceh," demikian Nazaruddin Sjamsuddin.

No comments:

Post a Comment