
a. Hendaklah seorang isteri merasa cukup(qana’ah) dan redha dengan pemberian suami walaupun sedikit. Tidak banyak menuntut serta mendesaknya, sehingga membuatnya kecewa dan dapat menjerumuskannya untuk mencari nafkah dengan jalan dan cara yang haram. Sesungguhnya para wanita generasi Salafush-Shalih, apabila suaminya hendak berangkat dari rumahnya untuk mencari nafkah, dia berkata kepadanya, “Jauhkanlah (wahai suamiku) mencari nafkah yang haram. Sesungguhnya kami mampu bersabar menahan lapar, akan tetapi kami tidak mampu bersabar menahan panasnya api neraka!”
b.. Hendaklah seorang isteri menjauhkan diri dari berbuat durhaka kepada suaminya, meninggikan suara ketika berbicara kepadanya, dan selalu mengeluh dan mengadu tentang suaminya kepada keluarganya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seorang wanita, “Bagaimana sikapmu terhadap suamimu?! Sesungguhnya dia adalah syurga dan nerakamu!” (HR. an-Nasa’i dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Syeikh al-Albani).
c.. Hendaklah seorang isteri tidak meminta kepada suaminya seorang pembantu wanita yang masih muda, karena hal itu dapat menjadi sebab sang suami menceraikannya. Dan karena seorang pembantu wanita muda lebih berpotensi mengundang fitnah dalam rumah tangga. Khususnya fitnah bagi sang suami. Tidak sedikit kes-kes pertelingkahan terjadi di dalam rumahtangga antara seorang suami dengan seorang pembantu wanita muda, karena seringnya komunikasi, saling memandang dan berdua-duaan, tatkala sang isteri tak ada di rumah, dan lain sebagainya. Kemudian terjadilah perselisihan dan percakaran antara suami dan isteri yang berakhir dengan perceraian. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalanku ini bagi para lelaki yang lebih berbahaya, selain para wanita.” (Muttafaq ‘alaih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita melainkan ada mahram bersamanya, lalu seorang lelaki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, isteriku hendak keluar menunaikan haji, sedangkan namaku telah terdaftar untuk mengikuti perang ini dan itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pulanglah kamu! Dan berhajilah bersama isterimu!”. (Muttafaq ‘alaih).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah sekali-kali dia berkhalwat (berdua-duan) dengan seorang wanita yang tidak ada mahram bersamanya, maka sungguh ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, dengan sanad yang shahih).
d.. Hendaklah seorang isteri mengetahui bahwa hak suami harus lebih diutamakan dari semua hak kerabat/ keluarganya. Jika mendapatkan hak-hak yang saling berkongsi, maka dia harus tetap mengutamakan hak suami, dan hendaklah dia mengabaikan yang lainnya.
e.. Hendaklah seorang isteri menjaga harta suaminya, tidak menggunakannya tanpa sepengetahuannya. Jika dia bersedekah dari hartanya dengan izinnya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala suaminya. Jika dia bersedekah tanpa redhanya, maka suaminya mendapatkan pahala, sedangkan dia mendapatkan dosa.
f.. Hendaklah seorang isteri menghindar dari pergaulan dengan para tetangga yang tidak baik, teman-teman yang buruk perangainya, yang dapat mempengaruhinya sehingga dia bersikap buruk terhadap suaminya, dan dapat menjadi sebab terjadinya perselisihan antara dia dengannya, serta dapat merendahkan martabat dan harga diri suami di hadapannya.
g.. Hendaklah seorang isteri bersikap sabar atas perlakuan suaminya yang kurang baik. Hendaklah dia bijaksana dalam menyikapinya tatkala sedang emosi, niscaya suaminya akan memujinya pada waktu dia senang. Dan hendaklah dia juga mengetahui, bahwa problematika dalam rumah tangga tidak akan menjadi besar kecuali jika hal itu disikapi dengan keras kepala dan kesombongan. Maka janganlah dia menghancurkan rumah tangganya dengan sikap keras kepala dan kesombongan.
h.. Hendaklah seorang isteri memenuhi panggilan dan ajakan ‘special’ suaminya dalam situasi dan kondisi apa pun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mengajak isterinya ke tempat tidurnya, lalu dia enggan, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi.” (Muttafaq ‘alaih).
i.. Hendaklah seorang isteri tidak menyebutkan atau menceritakan ‘sifat’/keistimewaan wanita lain kepada suaminya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal tersebut. Sebagaimana sabda shallallahu ‘alaihi wasallam beliau, “Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain, kemudian dia menceritakan wanita tersebut kepada suaminya, seakan-akan suaminya melihatnya (wanita tersebut).”(Muttafaq ‘alaih).
j.. Hendaklah seorang isteri mampu menjadi pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, dengan menyuruh mereka berbuat baik, dan melarang mereka dari perbuatan yang mungkar (tidak baik). Serta tidak meredhai jika ada sesuatu yang mungkar di rumahnya. Dan hendaklah dia mengerti bahwasanya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “.Dan seorang wanita (Ibu) adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan mempertanggungjawabkan atas kepemimpinannya,.”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah aia mencegahnya dengan tangannya, dan apabila dia tidak mampu, maka hendaklah dia mencegahnya dengan lisannya, dan apabila tidak mampu juga, maka hendaklah dia mencegahnya dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Abu Daud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). WaLlahu a’alam.
No comments:
Post a Comment